Kamis, 08 Januari 2009

Negara dan Diskriminasi Agama

Agama-agama di Indonesia memiliki peran sangat panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut negara kaum beragama, religius, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini masyarakat. Secara faktual, agama di Indonesia berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga aga-ma-agama lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Sin-to, dan lain sebagainya. Jauh sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dina-misme). Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme pri-mitif, percaya kepada Tuhan yang Esa. Pada mulanya, manusia me-nyembah kepada Tuhan yang monoteis. Namun, seiring de-ngan perkembangan sosial, ma-nusia primitif mulai mengem-bangkan Tuhan yang dikon-truksinya ke berbagai macam bentuk. Sehingga umat manusia mulai mengenal banyak Tuhan yang direpresentasikan lewat pemu-jaan terhadap roh, benda-benda keramat, gunung, bebatuan, pohon, hewan, dan lain seba-gainya. Meresmikan Agama Dalam konteks keaneka-ragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia itu, ternyata negara justru mem-batasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara. Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut masyarakat Indonesia yang sangat banyak, atau paling tidak mengakui seluruh ke-yakinan agama yang ber-kembang di masyarakat.

Negara justru hanya memberi batasan ada enam agama resmi yang diakui. Selain enam gama itu, dianggap tidak resmi dan tidak diakui. Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang No 1/PnPs/1965 Pasal 1 dan Tap MPRS No XXVII/ MPRS/1966 yang menyatakan hanya ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, krissten Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Sementara itu, penghayat kepercayaan, sekalipun diakui di dalam UUD 1945, tidak berarti diakui sebagai keyakinan resmi. Tap MPR No IV/MPR/1978 yang ditindaklanjuti Instruksi Menag No 4 Tahun 1978 justru mendiskriminasikan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang selama ini berjalan di dalam tata aturan yang dibuat oleh negara, meskipun Konghucu sudah mendapatkan pengakuan resmi dan fasilitas yang relatif signifikan bagi penganutnya. Perlakuan diskriminatif ini menandakan persepsi negara tentang agama masih didominasi pemahaman mainstream bahwa suatu agama harus memiliki Tuhan, nabi, dan kitab suci. Inilah yang menjadikan aliran kepercayaan tidak disebut sebagai agama karena tidak memiliki nabi dan kitab suci, sehingga tidak diakui negara.







Lembaga Agama

Pengakuan enam agama resmi itu diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama korporatis negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin (Majelis Tinggi Konghucu Indo nesia).
Lembaga-lembaga agama korporatis negara itu kemudian dipercaya sebagai pemegang �otoritas� agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dan lain-lain.

Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No 1/PnPs/1965 Pasal 1).
Negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Jika dilihat latar belakang sejarahnya, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional, di mana penyalah-gunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh ulama dari agama yang bersangkutan, dan aturan itu melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimak-sudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama resmi. Negara dan Agama Local Dalam konteks itulah, negara sudah sepantasnya menjadi fasilitator terhadap agama dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Negara tidak perlu membatasi pengakuan terhadap agama. Justru negara berkewajiban memberi pengakuan terhadap seluruh kepercayaan kea-gamaan masyarakat tanpa diskriminasi. Jika negara bersikap dis-kriminatif, berarti negara merusak sistem kepercayaan keagamaan yang telah lama menjadi warisan leluhur masyarakat. Agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen adalah agama pendatang, dan agama-agama lokal itulah yang menjadi produk lokal. Tetapi mengapa yang menjadi produk masyarakat yang genuine justru didiskriminasikan? Siapa yang salah? Karena itulah, perlakuan yang setara terhadap seluruh sistem kepercayaan masyarakat merupakan suatu keharusan di dalam masyarakat yang multikultur dan multiagama, agar harmonisasi sosial di masyarakat terwujud dengan baik. Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern, agama dan kepercayaan masyarakat ditempatkan dalam ruang publik yang adil dan setara.
Upaya peace-building di Indonesia tidak akan terwujud sejati jika agama-agama lokal tersebut ditempatkan dalam ruang terpisah dari agama-agama resmi, sehingga lebih banyak dimaknai sebagai warisan budaya luhur seperti barang antik yang hanya dilestarikan keberadaannya, bukan diberi hak setara agama-agama yang dipandang resmi. Penempatan agama-agama lokal dalam bingkai ekonomi, pariwisata, dan kebudayaan tentu saja akan mereduksi nilai-nilai dasar yang mereka yakini dalam membangun kehidupan bersama. Kaum penghayat dan adat selama ini hanya dijadikan bagian dari daya tarik inter-nasional untuk dipertontonkan sebagai kekayaan bangsa dalam jargon-jargon pariwisata. Padahal, hak-hak dasarnya sebagai warga negara yang meyakini agama leluhurnya tidak mendapatkan tempat yang layak. Dengan demikian, tugas negara adalah mengembalikan posisi agama-agama lokal yang diwariskan adat leluhur sebagai bagian integral dari hak kebebasan beragama dan mengembalikan hak- haknya setara dengan agama- agama besar. Inilah yang harus dipertim-bangkan negara agar tidak terjadi perlakuan diskriminatif dalam kebijakan publik dan kesadaran masyarakat an-taragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar