Kamis, 08 Januari 2009

Agama Asli Nusantara

Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Indonesia. Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil ,dsb. Seiring dengan berjalannya waktu dan jaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada didaerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatera dan pedalaman Irian Jaya. Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai hampir 10 juta.
Regulasi Perkawinan bagi Penghayat Aliran Kepercayaan Disosialisasikan
Magelang-Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang akan menyosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan bagi penghayat aliran kepercayaan. Penghayat aliran kepercayaan di Kabupaten Magelang harus tahu bahwa pemerintah telah menerbitkan regulasi baru mengenai hal itu, kata Kepala Seksi Pengembangan Seni dan Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Magelang, Gani Waskito, di Magelang, Jumat (11/1).
Hingga saat ini, kata dia, ratusan warga Kabupaten Magelang menganut aliran kepercayaan. Mereka tersebar di Kecamatan Borobudur, Sawangan, Mertoyudan, Windusari, Kaliangkrik, Muntilan, dan Salam.
Ia menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007, yang mengatur tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan, itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang disahkan pada tanggal 29 Desember 2006.

Pasal 105 UU Administrasi Kependudukan menyebutkan, dalam waktu enam bulan sejak disahkannya undang-undang itu, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan.
Dengan diterbitkannya PP tersebut, kata Gani Waskito, memberi kemudahan bagi mereka yang akan melaksanakan pernikahan. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan izin bagi sembilan pimpinan penghayat kepercayaan yang ada di Kabupaten Magelang untuk memimpin pernikahan bagi pengikutnya masing-masing.
“Sebelum ada PP tersebut, mereka pada umumnya melakukan tata cara pernikahan secara Islam meskipun tidak menjalankan syariat Islam,” katanya.
Menyinggung bulan Suro (kalender Jawa, red.), ia mengatakan penghayat aliran kepercayaan banyak yang melakukan upacara ritual. “Tetapi untuk pernikahan, bagi mereka tidak sebatas pada bulan pertama dalam penanggalan Jawa itu,” katanya.
(ant)
Aturan Perkawinan Penganut Aliran Kepercayaan Segera Terbit
Minggu, 11 Maret 2007 | 18:04 WIB
TEMPO Interaktif, Surabaya:

Untuk menghilangkan diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan, dalam waktu dekat pemerintah akan segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan. "Saat ini draf PP tersebut telah dibuat dan dalam waktu dekat akan segera disahkan," kata Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Surabaya, Minggu siang (11/3).
Menurut Sulistyo, selama ini penganut aliran kepercayaan sulit mencatatkan perkawinannya karena tidak diakomodasi oleh instansi cacatan sipil. Berdasarkan Undang Undang 1/l974 tentang perkawinan, kecuali yang beragama Islam, semua pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama lain disahkan oleh petugas cacatan sipil. Masalahnya, penganut aliran kepercayaan menganggap aliran kepercayaan bukan merupakan agama tertentu, tetapi mereka mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mereka menuntut diberi hak sipil seperti pemeluk agama lain. "Jadi selama ini perkawinan mereka tidak bisa disahkan di catatan sipil, akibatnya secara hukum dianggap kumpul kebo. Soal inilah yang kami pecahkan," kata Sulistyo saat membuka Musyawarah daerah ke-II Badan Kerjasama Organisasi-Organisasi Kepercayaan (BKOK)
Jawa Timur di Surabaya. Dikatakan Sulistyo, pembuatan PP tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan tersebut adalah amanat Undang Undang 22 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang disahkan 29
Desember tahun lalu. "Dalam pasal 105 undang undang itu diatur bahwa dalam waktu enam bulan sejak disahkannya undang-undang itu, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan," kata Sulistyo. Rencana ni disambut gembira oleh Djoko Sumono, ketua Presidium II Badan Kerjasama Organisasi-Organisasi Kepercayaan. Dikatakannya, selama ini penganut kepercayaan kesulitan mencatatkan perkawinannya di kantor cacatan sipil. "Kondisi ini seperti penganut agama Kong Hu Cu beberapa tahun lalu, tapi kan sekarang pencatatan perkawinan penganut Kong Hu Cu sudah bisa dilakukan di cacatan sipil," kata Djoko. Menurut dia, di seluruh Indonesia hanya ada dua kantor catatan sipil, yaitu di kabupaten Kebumen dan kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang bersedia melayani pencatatan perkawianan penganut aliran kep[ercayaan. "Pemda
di sana juga memakai dasar Undang Undang 1/l974, tetapi di tempat lain tidak bisa. Ini kan namanya diskriminasi," katanya. Karena itu, menurut Djoko Sumono, pengesahan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan di catatan sipil harus segera diakomodasi oleh pemerintah. "Jika tidak, bisa menjadi masalah," katanya. Sebab, saat ini banyak
penganut aliran kepercayaan yang terpaksa memilih memeluk agama tertentu, tanpa menjalankan syariatnya, hanya karena untuk menghindari diskriminasi. Padahal, saat ini di Indonesia ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan anggota sekitar 9 juta orang.

Negara harusnya ga usa ikut campur soal kepercayaan (agama)

guys...

klo pendapat saya kayanya pemerintah seharusnya jangan membatasi agama yang di akui oleh negara, seharusnya tiap warga negara bebas memiliki agama apapun dan kepercayaan apapun.... negara ga perlu sama sekali ngurusin agama sama sekali, janganlah agama menjadi identitas warga negara, klo identitas pribadi ya ga masalah, negara cuma perlu bagaimana menertibkan interaksi antar warga negara... mending klo di KTP ga perlu lah ada kolom agama. Sebab, agama yang begitu pribadi, bukan barang yang perlu diumumkan kepada orang lain. Apalagi menjadi identitas. Menghilangkan kolom agama dalam KTP lebih masuk akal ketimbang meributkan apa yang dimaksud agama. seharusnya mau warga negara ga beragama juga ga masalah, yang penting tidak mengganggu warga negara yang lain nya....

Aliran Kepercayaan Dipertimbangkan Masuk KTP


Jakarta-Pemerintah dan DPR sedang mempertimbangkan perlu tidaknya memberikan kesempatan kepada warga yang tidak menganut agama resmi untuk mencantumkan aliran kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Saat ini agama Khonghucu sudah bisa dicantumkan dalam KTP sebab status Khonghucu sama dengan lima agama lainnya.
“Dalam RUU, hanya ada kolom agama dalam KTP, tapi ada pertimbangan lain. Mungkin ada tambahan bagi yang tidak memiliki agama dalam arti aliran kepercayaan. Ada kan yang tidak menganut enam agama?” jelas Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Kependudukan (Adminduk) Depdagri, Rasyid Saleh di Depdagri, Selasa (31/10).
Menurut Rasyid, sampai sekarang, belum ada keputusan. Materi itu akan menjadi bahasan bersama antara pemerintah dan DPR. Namun, untuk agama Khonghucu sudah tidak ada masalah, karena memiliki dasar hukum yang kuat untuk dicantumkan dalam kolom agama di KTP.
Mengenai sikap pemerintah terhadap boleh tidaknya aliran kepercayaan dicantumkan dalam KTP, Rasyid mengatakan hal itu sangat tergantung dari keputusan Menteri Agama. Depdagri hanya melakukan pencatatan kalau sudah ada landasan hukum mengenai hal itu. Yang jelas, tambahnya, sampai sekarang belum ada landasan hukum untuk mencantumkan aliran kepercayaan untuk dicatatkan dalam administrasi kependudukan.

Khonghucu Kesulitan
Menyinggung soal adanya sejumlah kasus di mana penganut Khonghucu masih kesulitan untuk mencantumkan agama Khonghucu dalam KTP, Rasyid mengatakan sebenarnya pemerintah sudah melakukan sosialisasi mengenai hal itu. Namun, pihaknya akan mengingatkan kembali lagi pada rapat regional yang digelar pada Desember 2006.
Menurutnya, agama Khonghucu itu sudah memiliki landasan hukum. Artinya, Khonghucu setara dengan lima agama lainnya. Landasan hukum itu berupa Surat Keputusan Menag No MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006, kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran (SE) Mendagri No 470/336/sj pada 24 Februari 2006 tentang pencantuman Khonghucu dalam sistem administrasi kependudukan di Indonesia.
Rasyid mengatakan kalau ada masyarakat yang masih dipersulit untuk mencantumkan agama Khonghucu dalam KTP, hal itu bisa diadukan kepada kepala daerah. (daniel duka tagukawi)

Jalan Panjang Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan


PERKAWINAN antara Asep Setia Pujanegara, penduduk Jl. Wastukencana,
Bandung, dengan Rela Susanti, penduduk Kampung Cipaku Desa Pakutandang
Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, ternyata harus menempuh perjalanan yang
panjang hanya karena mereka adalah penganut Penghayat Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Pasangan itu menikah dengan tata cara adat Sunda pada hari Kamis 23
Agustus 2001 di rumah orangtua Rela Susanti, Kampung Cipaku, Desa
Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Kampung itu memang dikenal
sebagai tempat komunitas sejumlah keluarga masyarakat Sunda yang menganut
Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sanalah mereka secara
turun temurun tinggal dan tidak pernah menganut salah satu agama, melainkan
menganut Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pestanya cukup meriah, dihadiri kerabat, tetangga dan keluarga mereka. Akan tetapi, perkawinan mereka "tidak diakui negara", karena ketika pasangan itu mengajukan agar perkawinan mereka dicatatkan di Kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung, instansi pemerintah itu menolak. Sekalipun surat pengajuan pencatatan perkawinan Asep dan Rela itu ditandatangani pula oleh Ketua RT/RW dan Kepala Desa setempat. Kantor BKCS Kabupaten Bandung mengirim surat penolakan tanggal 1 Oktober 2001, ditandatangani Kepala BKCS Dra. Tintin K.


Menurut kantor BKCS, berdasarkan surat Mendagri tanggal 19 Oktober 1995 no. 474.2/3069/PUOD jo surat Gubernur Jawa Barat tanggal 16 Februari 2000 no. 474.2/406/Pem Um, perkawinan kaum Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dicatatkan pada kantor BKCS, walaupun telah dikukuhkan dengan penetapan Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan belum sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut kantor BKCS, dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 disebutkan, "Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Hal ini berarti di Indonesia dijamin hak asasi kemerdekaan memeluk agama, bukan hak asasi kemerdekaan tidak beragama. Istilah "kepercayaan" yang disebutkan dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian kepercayaan terhadap agamanya dalam menjalankan ibadat.


Menurut kantor BKCS lagi, dalam GBHN tertuang pengertian bahwa Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama, tetapi merupakan kekayaan budaya rohani bangsa Indonesia, sehingga sejak Kabinet Pembangunan III pengurusannya ditangani Departemen P dan K.


UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mendudukkan hukum Perkawinan Agama dalam posisi kuat. Artinya, perkawinan yang diakui sah oleh negara hanyalah perkawinan menurut agama dan kepercayaan terhadap agamanya.

Kantor BKCS Kab. Bandung berpendapat, surat edaran Menteri Dalam Negeri nomor 447/805/Sj tanggal 31 Maret 2000 menyatakan bahwa Pencatatan Perkawinan dan Perceraian harus berpedoman kepada instruksi Menteri Agama RI nomor 4 Tahun 1978 yang menyebutkan bahwa Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kantor BKCS Kab. Bandung berpendirian, perkawinan berdasarkan Aliran Kepercayaan tidak ada landasan hukumnya. Karena itu tidak dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Melanggar hak asasi. Sehubungan dengan adanya surat penolakan dari kantor BKCS Kab. Bandung itu, pasangan Asep Setia Pujanagara dan Rela Susanti yang kini sedang menantikan kelahiran anak pertama mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Melalui penasihat hukumnya, Dr. Wila Chandrawila, SH, mereka mendaftarkan surat gugatan tanggal 27 Desember 2001.

Menurut Wila, tatacara perkawinan yang dilakukan Asep dan Rela adalah tatacara perkawinan yang sejak berabad-abad telah dilangsungkan keluarga besar mereka dan sesuai dengan apa yang dipedomankan h Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/74 yang bunyinya, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Setelah perkawinan dilaksanakan, untuk mendapatkan keabsahan menurut Hukum Negara (UU No. 1/1974) harus dicatatkan di Kantor Pencatat Perkawinan bagi penduduk non-Islam yaitu di Kantor Catatan Sipil.
"Penolakan pencatatan perkawinan oleh kantor BKCS Kab. Bandung adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang dilakukan Negara Republik Indonesia cq Depdagri cq Kantor BKCS Kab. Bandung," kata Wila Chandrawila.
Selain itu, katanya, pihak kantor BKCS Kab. Bandung telah salah dalam menggunakan dasar hukum yang menjadi dasar pengambilan keputusan penolakan pencatatan perkawinan Asep dan Rela.

Perkawinan itu dilaksanakan dengan tatacara adat Sunda, bukan dengan tatacara perkawinan aliran kepercayaan, dalam arti konform dengan Penjelasan Umum poin 2 ayat b UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut Wila, tidak ada satu pun ketentuan perundang-undangan dalam Hukum Positif Indonesia yang menetapkan "setiap warganegara Indonesia harus memeluk agama". Bahkan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menetapkan "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Penjelasannya berbunyi, "Ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa" dalam arti negara Indonesia bukan negara agama tetapi adalah sebuah negara hukum dan negara yang berdasarkan kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung itu, agama hanyalah lembaga (institusi) keyakinan dalam bentuk formal. Begitu pula Penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah lembaga formal keyakinan non-agama. Jelas, keduanya adalah lembaga keyakinan yang isinya (materiil) adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Surat kantor BKCS Kab. Bandung, juga menggunakan alasan penolakan pencatatan perkawinan yang sangat mengada-ada. Sebab pernyataan yang menyebutkan bahwa "perkawinan yang diakui negara hanyalah perkawinan yang menurut agama dan kepercayaan terhadap agama" adalah pernyataan yang sangat berbahaya terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Fakta yang tak dapat dibantah dan dipungkiri adalah, tidak semua warganegara Indonesia memeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah sebagai "agama resmi". Di samping itu, kantor BKCS Kab. Bandung juga berbuat rancu dan sengaja membuat keraguan karena tanpa menyebutkan perihal dikeluarkannya surat Mendagri tertanggal 31 Maret 2000 No 477/085/Sj yaitu pencabutan dan pernyataan tidak berlakunya SE Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978. Status istri dan anak. Wila Chandrawila mengemukakan, penolakan pencatatan perkawinan itu membawa dampak sosial yang luas dan berat yaitu berbentuk "hidup bersama" yang menurut hukum negara adalah tanpa ikatan perkawinan yang sah. Hal ini pun mempunyai akibat hukum yakni apabila lahir anak-anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan, akan menyebabkan anak-anak tersebut adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Artinya, anak itu adalah anak yang tidak sah, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya dan keluarga bapaknya. Hal ini sangat merugikan dan melanggar hak asasi anak-anak tersebut untuk mendapatkan status sebagai anak yang sah dari bapaknya. Selain itu juga anak-anak tersebut tidak mempunyai hak waris atas harta peninggalan bapaknya dan keluarga bapaknya. Selain itu, para perempuan yang perkawinannya tidak dicatatkan, tidak dapat menikmati keuntungan yang ditawarkan oleh UU No. 1 tahun 1974 yaitu bukan istri sah, tidak mempunyai hak atas harta gono gini dan masih banyak lagi kerugian yang diderita, baik dari segi finansial maupun segi moral kemasyarakatan. PTUN mengabulkan. Kasus ini disidangkan di PTUN Bandung dalam beberapa kali persidangan dengan menghadirkan sejumlah saksi dari berbagai pihak, termasuk saksi ahli antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung.

Dua orang saksi memberikan penjelasan dan menyampaikan bukti bahwa perkawinan pasangan penganut Aliran Kepercayaan sudah ada yang dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, di antaranya di Jakarta dan Cilacap. Akhir pada sidang Kamis 25 April 2002, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung memutuskan mengabulkan permohonan suami- istri Asep Setia Pujanegara dan Ny. Rela Susanti sehingga perkawinannya yang dilangsungkan dengan cara adat Sunda dapat dicatatkan di Kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung.
Keputusan itu dibacakan Majelis Hakim PTUN Bandung yang terdiri dari
Ratna Harnani, SH (Ketua) Nettie Sompie, SH (anggota) dan Dra. Maria
Mawarnie, SH (anggota). Atas keputusan ini, tergugat kantor BKCS Kab.
Bandung yang diwakili salah seorang dari 4 kuasa hukumnya, Virgilio Do
Carmo, SH, langsung menyatakan banding. Sidang perkara ini dihadiri oleh puluhan orang Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari berbagai daerah di Jawa Barat, yang memberikan dukungan kepada pasangan Asep Setia dan Rela Susanti.

Setelah Majelis Hakim memutuskan bahwa permohonan pasangan suami istri itu dikabulkan, puluhan penganut Penghayat Kepercayan kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang memadati ruang sidang, langsung tepuk tangan dan menyalami majelis
hakim. Kemudian mereka mengangkat tubuh pengacara Dr. Wila Chandrawila
sebagai tanda terima kasih. Dua hari setelah itu, mereka mengadakan syukuran di sebuah tempat di Bandung, meskipun perkawinan Asep dan Rela Susanti masih belum bisa dicatatkan di kantor BKCS Kab. Bandung karena belum ada kekuatan tetap. Mereka harus menunggu hasil banding pihak kantor BKCS Kab. Bandung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta. Waktu masih panjang bagi mereka.

Mereka Kini Tengah Menunggu Anak Pertama

PASANGAN Asep Setia Pujanagara dan Rela Susanti asli Sunda. Bukan hanya ayah sampai buyutnya adalah Sunda, juga keduanya dilahirkan di Bandung. Asep dilahirkan di Bandung 28 Oktober 1970, sedangkan Rela Susanti lahir di Bandung 22 April 1976.
Asep adalah pengusaha muda di bidang alat-alat besi dan bertempat tinggal di Jalan Wastukancana, Bandung, yang juga merangkap sebagai tempat usahanya. Adapun Rela Susanti, lahir dan besar di Kampung Cipaku, Desa Pakutandang, Kec. Ciparay, Kabupaten Bandung. Ayahnya seorang seniman. Keluarga kedua belah pihak benar-benar Sunda. Kesehariannya, bukan hanya berbicara dengan bahasa Sunda, tetapi juga tata cara hidup mereka adalah Sunda. "Kami memang sering bertemu di pertemuan para Penghayat Kepercayan kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Asep.
Pertemuan mereka banyak dilakukan di sekitar tempat tinggal Rela Susanti di Kampung Cipaku, Ciparay, karena di sana terdapat comunitas Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari berulang-ulang "tatap muka", tumbuhlah benih cinta dan akhirnya mereka memutuskan menikah dengan cara adat Sunda di ruang pertemuan "Pasewakan", khusus untuk para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang terletak di Kampung Cipaku. Upacara pernikahan mereka cukup meriah. Kini mereka sedang menunggu kelahiran anak pertama yang kelak bisa dicatatkan di kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung. Pencatatan itu penting, karena dengan pencatatan pernikahan kedua orang tuanya maka si anak dapat memperoleh akta kelahiran sehingga status hukumnya menjadi jelas.


Mempertimbangkan Spirit Agama Lokal

Khamami Zada
gama di Indonesia sejatinya telah lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan, sudah beribu-ribu tahun nenek moyang kita melaksanakan ritual-ritual kepercayaan yang mencerminkan keberagamaan yang
tulus. Itu sebabnya, kita dikenal sebagai bangsa religius, bangsa yang beragama.
Hal itu dibuktikan dengan bebasnya masyarakat memeluk suatu agama, tanpa larangan dari pemerintah. Begitu pula dengan Ketetapan Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 kemarin yang mencantumkan aliran kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Keputusan itu menunjukkan betapa aliran kepercayaan tetap diakui sebagai bentuk keberagamaan masyarakat Indonesia yang sah. Namun demikian, realitas politik kita tetap saja hanya mengakui lima agama sebagai agama resma negara; Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Itu dapat dilihat dari
Surat Edaran Mendagri Nomor 477/74054 Tanggal 18 November 1978 yang hanya
mengakui Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu.

Surat edaran itu seakan membatasi berkembangnya agama lain, yang sesungguhnya juga dianut oleh sebagian masyarakat. Baru pada masa pemerintahan Gus Dur, Surat Edaran Mendagri itu dicabut dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Itu pun masih bersifat setengah hati, mengingat pada hari besar Konghucu hanya diberikan libur secara fakultatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama belum sepenuhnya menjadi kesadaran negara untuk memberikan ruang bagi agama-agama lain singgah di hati masyarakat Indonesia. Padahal, nenek moyang kita sudah lama memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menjaga pluralitas kepercayaan beragama dan mengakomodasi semua kepercayaan beragama secara baik.
Hampir tidak pernah kita temukan dalam sejarah terjadinya penolakan terhadap agama baru. Atau bahkan tidak pernah terjadi konflik antarkepercayaan masyarakat. Yang justru terjadi adalah konflik antaragama yang resmi diakui negara. Islam-Kristen dan Hindu-Buddha pernah mewarnai sejarah kelabu hubungan antarumat beragama. Yakni, konflik antaragama sudah tidak bisa dihitung berapa kali terjadi.

Agama Resma

Sejatinya, aliran kepercayaan adalah agama yang hidup di dalam komunitas adat. Dengan kata lain, aliran kepercayaan adalah agama lokal, yang ditemukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Beribu-ribu kepercayaan yang hidup di dalam suku Jawa, Batak, Dayak, Asmat, dan suku-suku terpencil lainnya adalah ekspresi beragama yang ditemukan sendiri berdasarkan pergumulannya dengan alam sekitarnya. Karena itu, kepercayaan kepada Tuhan yang diekspresikan ke dalam ritual-ritual masyarakat adat pada dasarnya adalah agama. Dalam konteks ini, agama bukan sekadar agama Semitis; yang memiliki Kitab Suci dan Pembawa Risalah seperti misalnya, Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Bukankah selama ini kita hanya menganggap lima agama itu yang bisa disebut sebagai agama resmi negara, sehingga muncul agama baru, seperti Konghucu, Shinto, dan Baha'i tidak diakui oleh negara.

Realitas itu menunjukkan terjadinya penunggalan tafsir apa itu agama, yang sekadar memenuhi unsur-unsur mekanik dalam agama, bukan makna substansial yang mendasari kepercayaan terhadap Tuhan. Karena itu, kepercayaan kepada Tuhan tanpa dibuktikan dengan Kitab Suci dan Nabi adalah sesat dan tidak diakui oleh negara. Padahal, agama sebagaimana dikemukakan EB Taylor lebih merupakan sebagai kepercayaan kepada makhluk spiritual, yakni Tuhan. Tentang bentuknya yang berbeda-beda, sangat bergantung pada pengalaman spiritual manusia terhadap alam sekitarnya. Itu sebabnya, di dalam masyarakat adat banyak sekali ritual-ritual yang berhubungan dengan kekuatan supranatural. Atas dasar itu, agama tidak bisa dimaknai secara birokratis-mekanik, melainkan lebih didefinisikan secara substansial sebagai bentuk kepercayaan kepada Tuhan. Dengan demikian, tidak sepantasnya agama lokal sebagai bagian dari keberagamaan masyarakat Indonesia diabaikan begitu saja. Agama local justru penting untuk dilestarikan demi pluralitas agama-agama di Indonesia. Bukankah, agama lokal tidak memiliki tradisi konflik sehingga lebih mudah memayungi spirit perdamaian, sebaliknya agama resmi justru banyak memiliki tradisi konflik.

Jika diamati fenomena konflik antaragama yang terjadi di dalam masyarakat kita sekarang ini menunjukkan betapa agama ikut menjadi pemicu konflik, dan itu biasanya terjadi pada agama-agama resmi. Konflik antaragama yang terjadi di Indonesia misalnya sering kali melibatkan agama resmi; Islam dan Kristen. Lihat saja konflik di Ambon yang sudah tiga tahun lebih berkecamuk belum juga reda. Poso juga mengalami hal yang sama; terjadi konflik antaragama. Barangkali inilah kelemahan agama resmi, yang selalu saja menampilkan kekerasan di dalam pergaulan lintas agama. Konflik antaragama sering kali
justru terjadi pada agama resmi, sedangkan agama lokal yang diyakini oleh etnik atau komunitas adat tertentu tidak mengalami hal yang sama dengan agama resmi.

Agama lokal tampak lebih toleran dengan perkembangan agama di luarnya. Sedangkan agama resmi selalu mempertautkan dirinya dengan kekuasaan; terutama menyangkut masa depan pengikut dan sumber-sumber ekonomi-politik yang didapat darinya. Pada gilirannya, agama resmi sering kali mengalami benturan dan konflik yang berkepanjangan. Hal itu disebabkan, agama-agama resmi sering kali mempersempit universalitas ajaran Tuhan sehingga yang muncul adalah klaim kebenaran yang bisa berujung pada sikap fanatisme, militan, dan radikal.

Hal itu membuktikan bahwa relasi kuasa agama-agama resmi tidak bisa dihindarkan lagi, terutama untuk memperkuat eksistensinya. Lagi pula, sifat umum dari agama resmi adalah mengajarkan dakwah (misionaris). Agama-agama resmi biasanya cenderung lebih banyak mengembangkan misionaris, kecuali Yahudi. Islam dan Kristen adalah agama dakwah, yang dituntut kepada kaumnya untuk menyebarkan agamanya. Itu sebabnya, eksistensi agama resmi sangat ditentukan dari bagaimana dakwahnya bisa mempengaruhi umat. Berbeda dengan agama lokal, yang hanya dianut oleh komunitas adat secara khusus, sehingga tidak melibatkan kuasa sebagai media untuk memperkuat eksistensinya.
Karena itulah, agama lokal lebih menampilkan karakternya yang elegan. Agama lokal atau meminjam EB Taylor, agama dasar (kemudian disebut Deis) adalah agama yang sederhana dan dianut oleh bangsa manusia. Agama ini terdiri atas kepercayaan pada Tuhan sang Pencipta yang menjadikan dunia dan kemudian menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya sendiri. Yakni, suatu kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan kehidupan setelah mati, jika mereka berbuat baik dan menghindari kejahatan. Bagi kaum Deis, kepercayaan sederhana yang elegan ini merupakan keimanan makhluk manusia yang paling awal.

Harapan kita semua adalah mendapatkan kembali spirit agama yang asli ini dan hidup dengannya dalam kedamaian dan ketenangan berdasarkan persaudaraan universal dalam semua umat; Kristen, Islam, Yahudi, dan yang lainnya di bawah Tuhan sang Pencipta yang tunggal. Dengan demikian, konflik antarumat beragama dapat diminimalisasi secara baik di tengah pergaulan lintas agama. Penulis adalah peneliti Lakpesdam NU dan alumnus PP Nurul Ummah Kotagede, Yogyakarta.

5 komentar:

  1. Setuju tidak ada pembatasan jumlah agama. Agama resmi malahan sering dipakai untuk melanggengkan perbedaan, yang pada gilirannya menunjukkan tiadanya cinta damai antar sesama warga manusia. Agama-agama asli nusantara malahan sangat menjunjung tinggi perdamaian dan kedamaian. Buktikan sendiri kalau tidak percaya.

    BalasHapus
  2. Sip setuju, ada HAM yang mutlak di lindungi dunia,

    http://djawoto.blogspot.com
    mampir ya :D

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Haha...bukan ga ada konflik..pipularitas masih sedikit kawan...

    BalasHapus
  5. Saya berharap aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME, yg ada di nusantara ini bisa ditayangkan di televisi utk wedal piulang, karena ini asli kekayaan negara, yg tdk dimiliki oleh bamgsa lain. Krn sebelum ada agama orang nusantara sudah percaya Tuhan. Jaman TVRI dulu ada kenapa sekarang tidak???

    BalasHapus